Adu Argumen, Perlukah Kekerasan??

Di pinggir jalan, ada sepasang anak muda yang saling beradu argumen. Cewek dan cowok. Penonton terdekatnya adalah tukang becak yang berjarak kurang lebih hanya 3 m di depan mereka. Karena kami (gw, Emmy, Bati) lewat dengan mobil jadi kata-kata yang terucapkan tak terdengar. Balik ke kedua anak muda tadi, mereka saling berteriak satu sama lain, entah apa yang diteriakkannya. Terlihat banget ada kemarahan yang terpancarkan dari muka masing-masing insan tadi.
Tiba-tiba…
BUK! PLAK!
Ya Tuhan, yang cowok mukul yang cewek! First with a fist, then with a slap! Selanjutnya yang terjadi adalah cewek tersebut terperangah sambil membetulkan jilbabnya yang sempat miring karena dipukul tadi. Sementara itu yang cowok masih meneriakkan beberapa kata-kata kepada cewek itu.
Ya Tuhan, ada apa ini?
Duh, memukul? Bukankah itu sangat menyakitkan? Duh, kenapa harus ringan tangan dalam menyelesaikan persoalan?
Tahukah cowok itu, bahwa hal itu bisa dikategorikan dalam kekerasan terhadap perempuan? Kalau terjadi dalam pacaran, hal ini dapat dimasukkan dalam kategori Kekerasan Dalam Pacaran(KDP) atau Dating Violence.
Banyak yang beranggapan bahwa dalam berpacaran tidaklah mungkin terjadi kekerasan, karena pada umumnya masa berpacaran adalah masa yang penuh dengan hal-hal yang indah, di mana setiap hari diwarnai oleh manisnya tingkah laku dan kata-kata yang dilakukan dan diucapkan sang pacar. Hal tersebut dapat dipahami sebagai salah satu bentuk ketidaktahuan akibat kurangnya informasi dan data dari laporan korban mengenai kekerasan ini.
Dating Violence merupakan salah satu bentuk dari tindakan kekerasan terhadap perempuan. Sedangkan definisi kekerasan terhadap perempuan itu sendiri, menurut Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan tahun 1994 pasal 1, adalah “setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.”
Namun demikian, walaupun termasuk dalam kekerasan terhadap perempuan, sebenarnya kekerasan ini tidak hanya dialami oleh perempuan atau remaja putri saja, remaja putra pun ada yang mengalami kekerasan yang dilakukan oleh pacarnya. Tetapi perempuan lebih banyak menjadi korban dibandingkan laki-laki karena pada dasarnya kekerasan ini terjadi karena adanya ketimpangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang dianut oleh masyarakat luas. Ketidakadilan dalam hal gender selama ini telah terpatri dalam kehidupan sehari-hari, bahwa seorang perempuan biasa dianggap sebagai makhluk yang lemah, penurut, pasif, mengutamakan kepentingan laki-laki dan lain sebagainya, sehingga dirasa “pantas” menerima perlakuan yang tidak wajar atau semena-mena.
Yang patut diketahui adalah bahwa kekerasan, apapun bentuknya, adalah suatu hal yang akan mengakar dan akan terjadi berulang. Sikap menyesal dan pernyataan maaf yang dilakukan pelaku adalah suatu fase “reda” dari suatu siklus. Biasanya setelah fase ini, pelaku akan tampak tenang, seolah-olah telah berubah dan kembali bersikap baik. Jika pada suatu saat timbul konflik yang menyulut emosi pelaku, maka kekerasan akan terjadi lagi.
Balik ke cerita tadi. Menurut gw, that man is psycho banget!
Kalau memang beda argumen sehingga harus berdebat, mengapa harus menggunakan kekerasan?? Kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah.
Anyone I agree with me?

Leave a Reply