Bayangkan, kita mengenal seseorang selama bertahun-tahun Kita tahu betul apa makanan kesukaannya, apa yang membuat dia marah, apa yang membuat dia senang, apa hobinya dan apa baju kesukaannya. Tapi tetap ada momen-momen tertentu di mana kita heran dan tidak menyangka perilaku orang tersebut. Coba ingat-ingat, seberapa sering kita mendengarkan dua orang berpacaran dan seorang di antaranya berkata kepada kita: “Saya pikir saya mengenalinya, ternyata…”
Bagaimana kalau orang itu kita sendiri? Tidakkah kadang kita berpikir: “Kok tadi saya seperti itu ya?” Dan kalau orang berkomentar tentang diri kita, kita berkomentar, “Masa sih?” atau “Gitu ya?” karena kita tergelitik oleh info-info baru tentang diri kita yang tidak kita ketahui.
Ini adalah suatu hal yang misterius. Kita hidup dengan diri kita, tetapi sulit untuk mengenal diri kita secara total. Secara fisik saja, misalnya, kita tidak akan melihat muka kita kalau tidak dibantu dengan cermin atau kamera. Demikian juga apalagi dengan diri psikis kita. Ada begitu banyak sisi dari diri kita termasuk hal-hal yang mungkin kita tidak sadari.
Berbagai sisi dari diri kita muncul sehari-hari sebagai peran: kita mengenal diri kita sebagai seorang anak, teman, pacar, istri, dsb. Kita masing-masing memiliki sifat yang berbeda-beda pula. Kita bisa saja galak di tempat lain, tapi lembut kalau bertemu pacar. Riang bertemu teman, tetapi serius kalau berhadapan dengan dosen. Kita ‘mengalami’ dan berinteraksi, perlahan-lahan kita membentuk pemahaman tentang siapa diri kita. Kalau kita setiap hari dikelilingi oleh orang yang meremehkan pandangan kita, mungkin kelama-lamaan kita yakin bahwa kita bodoh. Setiap bertemu dengan lawan jenis, kita dilirik terus. Lama-lama kita yakin bahwa kita menarik. Di sini, kuncinya adalah ‘konsistensi pengalaman’.
Apakah artinya kita perlu dikelilingi oleh orang yang menyukai kita agar kita memiliki konsep diri yang lebih sehat? Tidak juga. pembentukan konsep diri juga tergantung pada bagaimana kita memaknakan pengalaman dan hasil interaksi tersebut. Misalnya, kita berhasil menang lomba lari dan kita pikir, “Itu kebetulan saja. Saingan saya kayaknya telat start karena aba-abanya tidak jelas.” Kita sedang meyakinkan diri bahwa kita tidak istimewa, bahwa kesuksesan yang terjadi pada diri kita bukan karena kita memiliki kelebihan tertentu, tetapi nasib sedang berpihak pada kita.
Kesimpulannya adalah pengalaman bukanlah segalanya. Bagaimana kita memaknainya lebih berpengaruh. Nah, yang berbahaya tentu saja kalau kita sibuk melihat apa yang mau kita lihat dan mendengar apa yang mau kita dengar. Kita tidak mau lagi mendengar kritik atau kalaupun ada kita anggap hal itu tidak benar. Kalau ada kegagalan, itu bukan karena kita masih harus belajar dari kesalahan, tapi ada yang tidak suka pada kita. Kalau kita sering bertengkar dengan orang lain, itu karena mereka tidak bisa memahami kita, bukan karena kita tidak cukup sabar untuk mendengar pihak lain dan seterusnya…
Realita memang seringkali pahit, dan lebih enak tidak jujur daripada melihat sisi bopeng-bopeng dari kepribadian kita. The choice is yours and yours alone. Mau dininabobokan oleh ilusi yang kita pasang atau berhadapan dengan realita bahwa kita tidak sempurna.
Bahwa segala keburukan kita merupakan bagian diri kita sama seperti segala kebaikan kita. Hanya dengan jujur dengan diri kita sediri, kita bisa mengenal diri kita sendiri. Barulah kita bisa belajar dan mengembangkan diri sendiri.