Kesulitan angkutan itu menyebabkan pelajar sering datang terlambat ke sekolah…
Angkutan umum sangat dibutuhkan oleh hampir semua orang yang tidak memiliki angkutan pribadi. Saya juga pernah mengalaminya kurang lebih selama hampir 14 tahun. Tepatnya sejak SMP. Dan dari dulu hingga sekarang, kondisi angkutan umum itu tidak pernah berubah, kecuali tarifnya.
Tentang angkutan umum yang mengangkut penumpang melebihi kapasitas, itu sudah bukan hal aneh. Dan jika kita menanyakan pada sopirnya, jawabannya tak jauh dari ini: “Ngejar setoran !”
Kadang para kenek itu juga suka asal. Mereka mengatakan, “Bayar segitu aja minta nyaman ?!”. Sikap semacam itu juga merembet ke hal lain, misalnya tidak mau mengangkut penumpang yang masih berseragam sekolah. Tentu karena anak sekolah membayar hanya separuh ongkos penumpang umum. Padahal yang menentukan besarnya tarif angkot untuk pelajar itu adalah pemerintah, bukan anak sekolah sendiri.
Kalau pagi, saya sering juga melihat, sopir angkot menjumlah anak sekolah yang ada dalam armadanya. Perhitungan mereka, 4:6. Artinya empat orang anak sekolah dan enam orang penumpang umum. Perbandingan semacam itulah yang mereka pegang, kendati di jalan jelas-jelas lebih banyak calon penumpang anak sekolah.
Kesulitan angkutan itu menyebabkan keterlambatan baik bagi anak sekolah maupun mahasiswa atau pegawai kantoran.
Untuk sekolahan, hukuman alpa sehari menjadi hal biasa, hukuman disuruh membersihkan sekolah, tidak masuk satu jam pertama, dikurung di perpustakaan merupakan hal yang nggak asing lagi, bahkan ada siswa yang nongkrong di luar halaman sekolah. Mereka nggak boleh masuk. Memang, sekolah tidak pernah mau tahu persoalan yang menimpa anak muridnya. Yang penting, masuk jam tujuh lewat lima belas pagi, dengan waktu toleransi lima menit. Murid harus berada di sekolah 10 menit sebelumnya.
Untuk anak kuliahan, menjadi keseringan alpa kuliah, gagal ngejar target 80% kehadiran dengan syarat maksimal 3 kali alpa. Belum lagi, kalau dosen yang ngga mau kasih masuk kalau ada mahasiswa yang telat. Lengkap sudah penderitaan.
Pegawai kantoran yang terlambat membuat keterlambatan pekerjaan, nggak bisa memenuhi deadline, penilaian dari atasan jadi menurun.
Rasanya tidak benar kalau kita menyalahkan para supir angkutan umum itu. Mereka toh berhak menerima atau menolak penumpang. Memang sudah ada himbauan pemerintah. Tapi itu semua tinggal suara. Mereka yang duduk di belakang meja itu tidak pernah mengalami masalah seperti yang dialami orang biasa. Mereka cukup percaya dengan bawahannya. Lagipula mereka tidak menggunakan angkutan umum sesering kita.
Supir juga sering menyalahkan penumpang. Misalnya dengan menganggap penumpang yang masih pelajar itu bikin onar, tukang corat-coret. Bagaimana dengan yang tidak pernah melakukan itu semua?
Kondisi angkutan itu sendiri masih jauh terlihat dari nyaman. Di sana-sini terlihat sampah dan coretan mengganggu. Ini masih ditambah dengan jumlah penumpang yang melebihi kapasitas. Juga cara mengemudikan mobil yang ugal-ugalan lagi-lagi demi mengejar setoran. Belum lagi dengan segerombolan orang yang doyan merampok.
Yang muncul kemudian adalah saling menyalahkan. Ini tidak akan ada habisnya. Pihak pengelola angkutan umum merasa mereka sudah menjalankan tugasnya dengan baik. Pemerintah mengklaim peraturan yang dibuat sudah yang terbaik. Pihak sekolah/kuliahan/kantor merasa peraturan yang ada mutlak ditaati. Sementara para pemakai jasa angkutan sudah membayar ongkos, jadi boleh melakukan apa saja.
Yang kena getahnya tinggal kita-kita ini.