Digital dan Analog

Saya memulai pertualangan dengan kamera di saat papa menyuruh saya memotret dirinya. Saya diajarkan untuk melihat melalui viewfinder dan diminta untuk menempatkan objek yang akan dipotret pada lingkaran kecil di tengah. Kemudian setelah objek dibidik, saya harus memutar lensa agar sebelah kanan lingkaran bisa cocok dengan sebelah kiri lingkaran, lalu jepret ketika semuanya telah menjadi jelas. Kamera tersebut lumayan berat untuk saya yang masih duduk di bangku SD saat itu, yaitu Canon_AE-1.

Image from Wikipedia

Sepeninggalan papa, kamera tersebut masih sempat saya pakai ketika sudah SMP. Tapi karena berat, maka makin jarang digunakan. Selain itu, takut kameranya rusak atau jatuh, sih. Masuk SMU, saya dihadiahi Fuji DL-60, yang mempunyai fitur autofocus, dan drop-in film loading . Tentu saja senang luar biasa, dan mulai lebih banyak jepret sana-sini. Oh iya yang saya sebutkan semua di atas tadi adalah kamera analog ya, yang masih pakai film hehe :D

Image by Hans Kerensky


Mencoba Kamera Digital

Pertualangan bersama kamera digital saya diawali dengan Fujifilm FinePix V10 yang dibeli di salah satu pusat belanja elektronik di negara tetangga. Kamera ini lumayan menemani hari-hari saya antara 2006-2009, sebelum kemudian berpindah tangan ke pencuri tas ketika berada di kapal perintis dalam perjalanan dari tempat PTT ke Tanjung Pinang :(

Image from Dpreview

Kenang-kenangan si Finepix bisa diintip di sini dan beberapa postingan di blog ini.
.
Kemudian saya berkenalan dengan DSLR Nikon D40 yang juga sebenarnya adalah hibahan dari teman mama yang kembali ke negaranya. Berkat kamera ini, saya bisa belajar lebih banyak tentang aperture, pencahayaan, dll dll.

Salah satu foto yang dijepret menggunakan kamera ini lumayan membuatku menang juara pertama lomba foto yang diselenggarakan oleh Angingmammiri :D bisa lihat postingannya di sini.

Kembali ke Analog

Kurang lebih 5 tahun terakhir saya mulai menggunakan kamera analog kembali. Sebenarnya masih tandem sama kamera digital (Sony Nex-5, Fujifilm XA-3, Fujifilm XPro-2). Awalnya sebenarnya karena tertarik dengan Lomography, kemudian malah mencoba kamera2 plastik macam Oktomat dan Diana Mini.

Kurang lebih 3 tahun yang lalu saya diajak untuk mengikuti Low Light Bazaar di salah satu kedai kopi di Radio Dalam, Jakarta, dan kemudian membawa pulang Nikon F3 yang sampai akhir bulan lalu masih dipakai :D Apa sih Low Light Bazaar itu? Low Light Bazaar sebuah bazaar bertema fotografi analog. Suatu acara dimana kalian bisa berbelanja langsung dengan para penjual kamera dan film. Diadakan setiap tahun, bisa sekali setahun, bisa dua sekali setahun, atau bahkan lebih. Suka-suka yang adakan haha. Tempatnya juga random. Yang saya pergi itu di Radio Dalam, trus besok-besoknya sempat di Senopati, Fatmawati, Blok M, dan yang terakhir itu kolaborasi dengan Semasa Market di Kota Tua.

Low Light Bazaar

Di acara tersebut, sempat suka sama Canon yang rangefinder soalnya unik dan menantang. Tapi tapi kemudian saya disuguhkan dengan Nikon F3 yang langsung jatuh cinta begitu nyobain. Yes, karena SLR maka sangat mengembalikan kenangan bersama kamera almarhum papa sekian puluh tahun yang lalu *lap keringat*. Dengan harga 1,3 juta beserta light meter yang sudah rusak, kamera Nikon F3 tersebut pun berpindah pemilik ke saya. Namanya kamera analog, kebanyakan sudah pasti adalah kamera second, jadi kadang ada saja yang tidak sempurna. Tapi light meter masih bisa diakalin dengan menggunakan aplikasi di gawai yang bisa diandalkan :D jadi tidak masalah~.

Nikon F3 dan saya.

Si Nikon F3 ini ternyata dulunya adalah kamera yang banyak dipake para jurnalis selama jaman perang, trus kelebihannya selain mengintip melalui viewfinder, bisa juga ngeker melalui high point. High point itu maksudnya ngeker dari atas. Jadi, untuk memotret, adalah lumrah bila kita mengintip melalui viewfinder. Tapi beberapa kamera lama mempunyai semacam penutup di bagian atas kamera, yang bisa dibuka dan digunakan untuk “mengintip” sebelum memotret juga. Bedanya, cara melihatnya jadi harus nunduk ke bawah. Lumayan, bisa merasakan motret ala ala kamera Mamiya atau Rolleiflex hihihi.

Nikon F3 dan roll film buatan @bersoreria.
Nikon F3 dan high eyepoint finder.

Cuci Cetak? Cuci Scan?

Setelah ini, pasti banyak yang nanya? Di mana cucinya? Memangnya masih ada yang menerima jasa cuci cetak? Hahaha, bagi para penggemar kamera analog, hal ini bukan hal yang menjadi masalah utama. Dan yang jaman dulu kita harus cuci klise dan cetak foto, jaman now istilahnya dalah cuci scan. Jadi klise tetap dicuci, dan klisenya akan discan, menghasilkan foto dalam bentuk digital. Ruwet amat ya? Di situlah seninya haha.

Untuk urusan cuci scan ini saya biasanya menyerahkan kepada Hipercat Lab yang berdomisili di Bandung, padahal yang punya ternyata orang asli Makassar :P

Seperti yang tadi saya bilang, cuci klise ini bukan hal yang menjadi masalah utama. Iya, sebab langkanya menemukan roll film, terutama roll film yang bagus-bagus seperti Kodak Portra, Illford, perlu effort lumayan dan dana yang lumayan juga. Beberapa kali ke Jepang, saya dan dia biasanya akan memborong hingga 2 lusin rol film dengan berbagai macam merk atau lebih hahaha.

Berikut beberapa hasil foto menggunakan Nikon F3. Selebihnya bisa cek instagram @rara79 saja ya~

Kimono at Kiyomizudera. Nikon F3, Fujifilm Xtra 400, devscan at Kitamura Camera Shinjuku.
Praed street, London. nikon F3, Ilford XP2 Super 400, devscan at shutterandbutton.

Mencoba Nikkormat

Setelah bermain dengan Nikon F3, mulai awal tahun ini saya mencoba mengeksplorasi Nikkormat FT yang langka ini. Enaknya, light meternya masih berfungsi baik, jadi nggak usah buka2 aplikasi setiap saat haha. Nikkormat FT adalah kamera SLR yang terbuat dari logam secara keseluruhan, fokus manual dengan kontrol jarum untuk lightmeter-nya, diproduksi di Jepang dari 1965 hingga 1967. Gak enaknya: berat. Hihi.

Nikkormat FT. Image by Wikipedia.

Karena baru dipakai dan rol film sedang diproses oleh Hipercat Lab, jadi hasilnya nanti ya dipajang di blog ini hehe. Overall, menggunakan Nikkormat ini lebih enak fokusnya, mungkin karena efek lensa yang bagus juga ya kali ya.

Oh iya, akhir kata, menggunakan kamera digital dan kamera analog, ada pro dan kontranya. Tapi saya selalu lebih menyukai hasil foto jepretan kamera analog dibandingkan dengan kamera digital. Entah mengapa. Mungkin karena saya orangnya malesan edit-edit foto setelah jepret haha. Mungkin juga karena sudah uzur jadi lebih suka pada yang oldskool :P

Jadi, apakah kalian juga tertarik untuk mencoba kamera analog? Atau lebih nyaman dengan kamera digital saja? :D

*catatan kecil: AKHIRNYA BLOG INI UPDATE JUGAAAAA!!!! Mari berhitung kira-kira butuh berapa tahun untuk menghasilkan postingan berikutnya. Hihihi*

33 Replies to “Digital dan Analog”

  1. Ya ampun sa cari2 komennya Tika. Ternyata cuma bilang pertamax hahahahaha

    Btw, hiatus 4 tahunan ga membuat kemampuan menulis hilang atau minimal kaku, tetap lancar mengalir dan enak dibaca. Senior memang *menjura*. Ohya satu lagi sa notice, nda pelit pasang link hahahahha

    1. Iyaaa~ hahahaha..
      Terima kasih sudah berkunjung kembali ke blog ini, Nanie :D hahaha semoga semangat ini bisa dipertahankan :P
      Ngg soal pasang link, mungkin sudah kebiasaan dari dulu ya, jadi agak malas mengingat2 semua peraturan2 SEO tersebut hihihi.. Let it flow saja lah

  2. beda memang kalau bloger senior, biar lama baru ngeblog dan posting lagi tulisan tetap mengalir lancar dan enak dibaca.

    jadi, postingan berikutnya kapan?

    1. Hahaha terima kasih, Anchu, sudah mau datang ke blog yang penuh dengan debu dan sarang laba-laba ini haha.. Doakan mi supaya postingan berikutnya bisa menyusul :D

  3. Wow! Tulisan Rara ini harus dibaca anakku yang sekarang lagi doyan motret pake tustel, hehe…
    Katanya sih emang sekarang lagi hype foto-foto pake kamera analog, cuman di Makassar belum seheboh di Jakarta dan Bandung. Makanya kemarin orang-orang di studio foto pada heran dan ketawain kita yang datang bawa rol film dan kamera analog.

    1. Sampai sekarang pun walau bukan di Makassar, kalau kita nenteng2 kamera analog dan rol film, pasti masih ada yang ketawai haha..
      Soal hype kayakna dulu pernah hype sih, walau lebih ke arah lomografi. Tapi karena komunitasnya kecil, jadi tidak terlalu ketahuan. Tapi ada ji tawwa. Semoga anak ta bisa menemukan asyiknya berkamera analog :D

  4. Wuihhh Nikon F3?
    Deh, andalan juga di zamannya hahaha.
    Di kantor dulu ada bapak yang pegang F5, dia beli di Barcelona dan di pertengahan 90an di Makassar hanya ada 2 orang yang punya.

    Enaknya kalau sudah biasa analog, ketelitiannya jadi lebih tinggi karena terbiasa berhitung dulu sebelum jepret. Karena sayang filmnya hahaha.

    Kalau pertama pegang kamera langsung digital, jadinya boros nge-shoot. Apalagi kalau sudah mikir; ah, nanti kan bisa ji diedit.

    Sebenarnya saya juga mau pegang kembali analog, cuma yaahh kayaknya susah mi cari filmnya di Makassar ya.

    1. Saya pertama kali pegang kamera lnagsung digital. Jadi seperti kata daeng ipul, jadinya boros nge-shot. Kayaknya harus memotret dulu. Karena sayang juga kalau misalnya belinya mahal-mahal kamera analog di jaman now, tapi ngga tahu cara membidik dengan benar ?

      1. sebenarnya bisa sambil belajar sambil punya. lagian kamera2 analog nggak semahal kamera jaman sekarang loh haha~ karena defaultnya adalah kamera second hand ji :D

    2. Iyyaaa~ kocaknya setelah kupake pi Nikon F3 ini baru kutahu sejarahnya. Makin suka ka pake ki hahaha..
      Beli film dll bisa melalui toko online sih, cuma ongkirnya memang jadi mahal haha. Ayo ayo coba lagi analog, daeng, mengasah skill dan matematika kembali haha

  5. Pertama, saya ucapkan selamat atas ter-updatenya blog ini kembali???

    Trus kedua, cieee DIA cieeee?????????????????????

    Nah ketiga, saya baru tahu tentang cuci scan ini, untungnya dirimu update jadi saya bisa tahu info cuci scan. Btw, saya lagi menimbang-nimbang meminang mirrorless. Tapi masih bingung harus pilih yang. ????? Memilih itu memang sulit ternyata #eh

  6. Beberapa kali saya punya kamera, bahkan sempat ikut lomba foto2 juga, hanya mampu mengaktifkan fitur Auto saja. Belajar sih soal appeture, dll tp blum masuk2 di ingatanku.

    Btw menarik ada orang2 penggemar fotografi yg kembali ke kamera analog sementara versi digitalnya sdh menyediakan nyaris semua kemudahan…

    Keep blogging kak Rara…

    1. Sebenarnya kamera analog juga memberikan kemudahan, daeng Rusle. Hahaha. Kemudahan nggak usah ngedit, karena warna dan ambiencenya benar-benar sesuai dengan apa yang kita lihat :D

  7. Keren banget di sana ada low loght bazaar jadi pengen inisiatif jg bikin di makassar ,,

    mmg kamera analog
    Melatih insting dan pada kamera analog lah ada matematika fotografi .
    Saya pegang kamera mulai dari kamera analog juga tapi yang sudah ada roll ISO400 SMP ka itu pakai punya papaku merk fuji tp luap typenya dia agak besar dan hitam semua sisinya.

    Kadang ada juga celutukan pas kita sudah sampai di tempat cuci foto waktu mau terima hasil, “ini ada beberapa yang terbakar” hahahha ..

    Kemudian masuk SMA dibeliin camdig sony, jadinya merasa tertarik karena gak perlu beli roll lagi. Camdig sony. Trus mencoba DSLR punya sepupu sony dan nikon, akhirnya terjun deh saya di komunitas2 fotografer di makassar yg pada pakai DSLR

    Cuma Saya KZL nya jaman sekarang para fotografer tuh suka tanding2an siapa yg beli lensa paling mahal, dianggap paling jago :)))))

    Btw kak Rara congrats atas terpublishnya postingan ini setelah sekian tahun, suka skali baca dan liat foto2 postinganta, mau baca terus cerita2 kak Rara di negeri orang , tentang kedokteran gigi, tentang mozilla, dan tentang “dia” eh hehehehehehhe ~

    1. kayaknya di Makassar ada ji komunitasnya kamera2 analog begitu. Cuma memang keknya kurang booming ki karena susah didapat macam-macamnya. Sekalinya ada, harganya mahal karena terlibas ongkir :(

      Terima kasih atas semangatnya, gara2 BW ini bisa memacu diri untuk posting lagi hahaha. Semoga ke depannya masih bisa posting terus secara rutin :D

  8. Huffttt jadi tambah gila ka sama kamera analog:(
    soalnua susah sekali sekarang kamera gituan, saya biasanya pakr kamera digital sampe sekarang karena gampang dan mudah.

    Naks milenial suka kamera digital karena bisa diedit pake aplikasi yg ada di gawai. jadi instagramble dong hehehe

  9. Sudah lama gak pernah lagi menggunakan kamera analog, praktis dan gak ribet itu alasan pertama, alasan kedua yah karena terlambat mengenal fotografi. Saya pilih kamera digital saja dan belajar edit berbagai aplikasi :D

  10. Koleksi kamerax kece-kece mbak. Bicara tentg kmera analog, dulu wkt SMP sy suka skli dgn kamera Analog, selain harus benar-benar siap untuk menangkap gambar (tkut kehbisan roll), hasil jpretan pun rasanya lebih kece. Sekrg pakai kamera digital, tp rasa excited ketika menjepret rasanya sudh tidak semenarik yg dahulu (mungkin krn hsl instan yg bisa langsung dilihat).

  11. Sempat tertarik dengan kamera lomo, terus juga pernah punya kamera instanya fujifilm. Sayangnya cari roll (atau kertas cetakan kamera insta ?) susah sekali dan mahal. Jadilah kembali ke kamera digital.

    1. Kamera lomo sebenarnya menarik kalau dieksplore, karena lomografi memberi sekian banyak pilihan untuk dieksplorasi. Roll film yang murah2 ada ji, tapi memang agak langka terutama buat yang tinggal di luar pulau jawa. Karena ongkirnya jadi mahal haha.

      Kamera instax itu sebenarnya model modern dari polaroid. Dan iya, filmnya itu mahal sekali huhu~

  12. Baru pertama kali update dan langsung disuguhkan dengan konten menarik seperti inj. Keren kak, semoga ke depannya makin semangat update postingan baru?

    Btw hasil kamera nikon F3 nya cakep banget, mupeng saya liatnya?

    1. Terima kasih, doakan supaya bisa konsisten posting lagi yah~ haha
      Iya hasil foto kamera analog bagus memang, dan tidak perlu sentuhan sotosop :P

  13. Enaknya pakai kamera analog ya itu pasti jadi lembaran foto. Kan ndak mungkin mau lihat di klisenya wkwkkwk. Zaman digital gini foto hanya numpuk di folder-folder laptop. Jarang sekali dicetak, kalaupun dicetak paling hanya sebagian kecil dari yang tertangkap kamera saja.

Leave a Reply